Senin, 21 Mei 2012

Assassin di kota daeng


Assassin di Kota Daeng
Oleh : SUNARWAN SULAIMAN
Malam hari di sebuah hotel berbintang lima. Beberapa pakar politik sedang berpesta dengan keberhasilannya menguasai kota makassar dan lima elite politik yang sudah terkenal di masyarakat. Seorang wanita sedang memainkan alat musik Dj. Mereka menikmati lagu Dj yang di main kan wanita seksi itu. Seorang pria berwajah tampan sedang minum anggur. Dia termasuk salah satu dari kelima elit politik yang terkenal itu. Mereka larut dalam pesta para elite. Tidak lama kemudian listrik pun mati dengan seketika. Seorang teman politik sedang memegang pundaku. Dia menyuruhku untuk menelpon ofice boy untuk menyalakan generatornya. Disaat aku mau menelpon Suara irisan pedang terdengar di telingaku dan seorang wanita berteriak mengagetkanku. Aku tidak tau apa yang terjadi. Satu persatu suara manusia telah hilang. Aku merasa takut dan panik. Aku pun segera bersembunyi di bawah meja. Karena takut aku pun merangka dengan perlahan-lahan di tengah kegelapan. Ketika aku sedang merangka. sebuah cairan yang kental telah mengenai tanganku. Aku pun mencium cairan itu dengan tanganku. Cairan itu membuat denyut jantungku berdetak keras dan berkeringat dingin. Ternyata yang kucium itu adalah darah. Aku merasa takut dan kuambil handpone di kantong celanaku. Handpone itu kujadikan alat penerang. Kuarahkan cahaya handpone itu kesegalah arah, tiba-tiba Mataku seakan terhenti melihat mayat tergeletak di penuhi darah. Aku pun betambah panik. Aku melihat kesekelilingku. Kulihat pintu sedang terbuka lebar. Akupun lari dan lari secepat mungkin. Sebuah kamar yang tidak jauh dari tempat kejadian. Aku pun masuk ke kamar itu dan bersembunyi. Suara kaki terdengar di balik pintu kamar yang sedang kujadikan tempat bersembunyi. Aku pun takut dan ketakutan ini baru kurasakan seumur hidup. Langkah kaki itu berhenti di depan pintu kamar. Aku pun bertambah takut melihat bayangan kaki itu. Dan langkah kaki itu pergi dan tidak terdengar lagi. aku merasa legah sekarang. Kuhirup udara dan kukeluarkan lewat mulutku. Ketika aku sedang merasa legah untuk sementara, tiba-tiba ada seseorang memegang pundakku dari belakang. Aku merasa tegang dan membalikkan kepalaku secara perlahan-lahan. Dan ternyata salah satu teman politikku.
“Dimana yang lain Rio?”
“syuuuuttt jangan ribut!. Mereka semua mati.”
“Tinggal kita dua orang.”
“Iya, jangan ribu nanti kita bisa ketahuan.”
“Siapa yang membunuh mereka?”
“Aku tak tau. Aku bilang jangan ribut. Nanti di luar kita bicarakan setelah kita lewati semua ini. Ayo kita keluar dari sini.” Kami bergegas keluar dari pintu.
Cahaya bulan menyinari hotel, sehingga kami bisa melihat. Kami keluar dari pintu dengan perlahan-lahan dan ketakutan. Aku melihat kebelakang. Sementara Tio melihat kedepan. Kami terus berjalan sampai kami menemukan tangga. Kami turun dengan rasa takut yang membara. Akhirnya kami menuju tempat keluar dan kami pun berlalu dengan mobil.
Kami merasa aman sekarang. Rio menyetir mobil sambi tertawa dan aku pun ikut tertawa. Ketika kami tertawa karena kami selamat, tiba-tiba ada sebuah mobil melaju kencang dari belakang kami. Rio juga menaikan kecepatan mobil. Kami merasa takut lagi. mereka tidak berhenti sampai kami masih hidup. Mobil kami saling memburu. Aku melihat perapatan dan kusuruh Rio membelok ke kanan. Rio pun membelok dengan mendripkan mobinyal. Aku melihat kebelakang dan mereka pun ikut mendrip juga.
“Tio ada senjata di dalam box. Cepat ambil.”
Aku pun mengambilnya dan menembaki mobil itu. Dorr-dorr  dan ternyata mobil itu anti peluru. Aku terus menembaknya. Rio mendripkan mobilnya di jalan vetran. Kami pun membalapnya sampai  ke alauddin. Aku membalikan kepalaku dan melihatnya. Ternyata mereka menyerah. Rio membelokan mobilnya ke arah petrani. Dan Rio mengurangi kecepatan mobil. Aku lihat lampu merah dan kusuruh Rio membelokan mobilnya kekanan. Ketika kami sedang membelok, tiba-tiba mereka muncul dari arah berlawanan. Rio pun menancapkan gasnya. Mereka menyenggol mobil kami dan kami membalasnya. Kami melaju kencang dengan kecepatan 120 km. Aku pun menembaknya dorr-dorr . dan mobil itu benar-benar anti peluru. Rio pun membalapnya dengan kencang dan mereka  pun ikut membalapnya sambil menyenggol mobil kami. Dari arah kejauhan kulihat mobil truk  sedang melaju. Kami perlahan-lahan mendekati truk itu. Ketika kami sedang melaju kencang, tiba-tiba mereka menyenggol kami. Rio kehilangan kendali dan menyenggol mobil truk sehingga mobil kami terbalik dan terpelentang sampai ke sawa. Kepalaku terbentur dan tak sadarkan diri.
***
Ke esokan harinya  di rumah sakit. Banyak polisi yang menjaga di depan. Aku mulai sadar dan membuka mataku secara perlahan-lahan. Aku lihat kakakku sedang tidur menunggu aku sadar. Aku takut dengan kejadian tadi malam. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju jendela. Dan kulihat polisi sedang berjaga untukku. aku menghembuskan nafasku tanda merasa sudah aman. Kakakku mulai bangun karena mendengar langkah kakiku.
“Oh kamu sudah bangun. Apa yang terjadi tadi malam.”
“Aku tak tau. Mereka semua mati. Dimana Rio?”
“Rio sudah mati di tempat tadi malam dan hanya kamu yang selamat.”
Aku pun menggarukan kepalaku mendengar ucapan kakakku.
“Aku harus mencari siapa pelakunya.”
“Polisi sudah menanganinya. Aku mau nanya apa semua kejadian ini ada hubungannya dengan kekuasaanmu.”
“Iya, pasti ada orang cemburu dengan ku.”
“Biar aku yang selesaikan. Kamu tidur saja. Kamu aman di sini.” aku pun kembali ke tempat tidurku.
***
Malam hari di rumah sakit. Mereka sudah tau bahwa aku belum mati. Penjagaan semakin di perketat. Banyak polisi menjaga di dalam rumah sakit dan di luar.  Aku tidur  dan di jaga oleh dua polisi. Malam semakin larut. Dua polisi sedang berjalan di taman rumah sakit, tiba-tiba polisi itu di bunuh oleh orang memakai juba hitam. Semua polisi di bunuhnya sampai di pintu kamarku. Suara jeritan orang terdengar dari balik pintu. Aku pun di bangunkan oleh kedua polisi yang menjagaku. Aku mulai panik dan merasa takut. Karena ketakutan di dalam diriku. Membuatku menyuruh polisi itu pergi memeriksanya. Kedua polisi itu segera berlalu dan memeriksanya. Tidak lama kemudian polisi yang menjagaku tidak juga kembali. Suara langkah kaki terdengar di balik pintu. Aku merasa takut dan panik. Pintu itu mulai di bukanya secara perlahan-lahan. Ternyata yang datang adalah kakakku. Aku merasa legah sekarang, tapi kakakku menertawakan aku. Aku mulai curiga dengan kejadian ini. Dan selama ini yang ingin membunuhku adalah saudaraku sendiri.
“Sekarang kekuasaanmu akan jadi milikku.” Dengan tertawa padaku.
“Ooo ternyata kamu yang ingin membunuhku.”
Kulihat pisau makan dan kuambil dengan segera. Kakakku mulai maju mendekatiku dan aku pun mulai mundur mendekati jendela. Ketika aku mundur mendekati jendela. Seorang pemuda berjubah hitam dan di tutupi mulut menusukku dari belakang. Kupegang pedang yang menembus badanku dan kubalikan badanku secara perlahan-lahan. Ternyata kakakku menyewa assassin untuk membunuhku. Darah mulai keluar dari mulutku. Aku bersujud di hadapan pembunuh bayaran itu dan tergeletak tak bernyawa.


HATI RAKYAT


HATI RAKYAT
Oleh : * SUNARWAN SULAIMAN
Perkenalkan nama saya Rian. Saya tinggal di bawah jempatan. Pekerjaan sehari-hari saya mengamen. Di pagi hari seperti biasa saya terbangun oleh suara kendaraan yang  melintas di bawah jempatan. Saya tidur bersama sahabat namanya Tio. Hari ini sangat cerah. Waktunya untuk mencari makan sedangkan teman saya masih tidur karena kecapean mengamen tadi malam. Saya pergi mengamen di zebra cross. Mata saya tertuju pada mobil hitam. Saya berlari menuju kesana dan bernyanyi. Seorang wanita membuka jendela mobil dan memberikan uang seribu kepada saya. Dan kemudian saya mengucapkan.
“terima kasih bu.”
Ibu itu pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Akhirnya saya mendapatkan uang dan saya pergi membeli roti untuk menjanggal perut. Saya duduk di pinggir jalan sambil makan roti dan melihat mobil melintas.
Teman saya terbangun oleh suara mobil truck. Dengan wajah mengantuk sambil mengusapkan tai matanya. Teman saya melihat diriku ini sedang duduk di pinggir jalan dengan mata bercahaya. Teman saya menghampiriku.
“Makan tidak bagi-bagi.” Berkata sambil berjalan kepadaku.
“Eh kamu sudah bangun.”
“Kenapa nggak mengamen?”
“Kamu nggak liat aku sedang makan.” Mengankat alis sambil berkata kepada Tio.
“oh iya, aku lupa.” Menjawab dengan senyum
“Kamu kenapa nggak ngamen juga?”
“Aku masih ngantuk. Soalnya tadi malam aku mengamen di pinggir pantai.”
“Oooh.”
Temanku ikut duduk bersamaku dan melihat langit sambil berkata.
“Sampai kapan ya kita begini?”
“Maksud kamu.”
“Maksud saya sampai kapan kita mengamen?. Padahal mengamen itu tidak menghasil uang banyak. Hanya sebagian orang-orang yang mau memberikan uangnya kepada kita. Padahal kita terkadang marah-marah kepada orang yang tidak memberikan uangnya kepada kita.” Sambil menundukkan kepalanya.
“Sabar saja, itu sudah pekerjaan kita.”
“Ah mengapa aku menjadi pengamen?” sambil melihat langit.
“Kamu tidak sadar ya ini sudah takdir kita.” Menatap wajah Tio.
“Aku nggak percaya dengan namanya takdir. Takdir bisa di ubah.”
“Eehhh kamu nggak lihat Presiden, Gubernur, dan Wali kota saja nggak pernah perhatikan kita. Dia sibuk dengan pekerjaannya sendiri.”  Dengan ekspresi marah.
“Sibuk apa si dia?”
“Wali kota kita sibuk dengan membangun gedung-gedung pencakar langit.”
Tio tersenyum melihat ku.
“Padahal kota ini masih ada kekurangannya.”
“Kurang apalagi kota ini rumah sakit dimana-mana, tempat hiburan sudah ada, dan hotel berbintang pun sudah ada dan juga mol. Apa lagi sih kekurangannya?” dengan mengangkat kedua tangannya.
Saya pun tersenyum mendengar jawaban Tio.
“Kamu ingin tau kekurangannya kota ini.”
Tio membalas dengan menganggukan kepalanya.
“Banyak kekurangan kota ini. Wali kota kita sibuk dengan membangun gedung-gedung pencakar langit, sehingga dia melupakan daerah yang terkena banjir, pencurian di mana-mana, dan salah satunya kita. Dia melupakan kita. Padahal kita lahir di negara ini. Apakah kita tidak mempunyai hak untuk negara ini.” Dengan mata bercahaya.
“Iya ya banjir dimana-mana, pencurian, dan gedung pencakar langit. Berarti pemimpin kita nggak ada artinya ya.”
“Jadi kita pasrah aja menjadi pengamen.” Menundukkan kepalanya dan menjatuhkan air matannya.
Tio memegang pundaknya dan berkata.
“Kita jangan menyerah kawan. Semua ini akan ada balasannya kawan. Kita harus cari kerja.”
“Gimana caranya cari kerja?. Kita saja tidak pernah sekolah.”
“Bersemangatlah, apa sih yang tidak bisa di dunia ini?”
“Kau bersemangat sekali.”
Seorang pemuda melihat kita berdua duduk di jalanan dan dia menuju kesini.
“Selamat pagi?” kata pemuda itu.
“Selamat pagi juga.” Mereka berdua menjawab.
“maaf aku mengganggu.”
“iya ngga papa, kenapa ka?”
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Tadi kalian berbicara  tentang presiden kalau tidak salah.”
“Oooh itu ka. Kaka tidak salah, kami memang bercerita tentang itu.” Pemuda itu langsung duduk.
“Perkenalkan nama  saya Ari.” Dengan mejabat tangan mereka.
“Namaku Rian dan disampingku Tio. Jadi begini ceritanya ka, temanku malas menjadi pengamen. dia ingin mencari kerja, tetapi aku tidak. Karena pemerintah tidak pernah perhatikan kita.” Rian melihat pemuda itu matanya bercahaya.
Pemuda itu mengusapkan matanya dan berkata.
“Semua ini karena Demokrasi dan kalian adalah korban dari modernisme. Kalian di lupakan oleh pemerintah karena budaya barat masuk ke negeri ini. Dulu pada zaman soekarno tidak ada pengamen dan pengemis. Yang ada hanya berjiwa garuda. Hati kita satu dengan pulau-pulau yang lain dan juga pancasila ada di hati kita, tapi sekarang tidak ada. Sekarang hanya ada konflik, demo, dan korupsi. Kalian adalah korban Demokrasi.” Mereka terkejut mendengarkan perekataan pemuda itu.
“Demokrasi itu apa ka dan modernisme itu  apa ka.”
“Hehehe kamu nggak tau apa itu Demokrasi dan Modernisme. Berhenti sejenak dan melihat langit.
“Demokrasi itu kebebasan berpendapat dan modernisme itu berasal dari kata modern dan kalian sudah merasakannya tiap hari. Hehehe beginilah para elit-elit politik yang memakai kata tingkat tinggi, sehingga sebagian masyarakat tidak tau makna dari demokrasi dan modernisme. Coba kalau para elit-elit kita bicara apa adanya dan tidak menggunakan bahasa tingkat tinggi. Pasti kalian tau hehehehe. Kalian adalah korban Demokrasi.” Pemuda itu menatap wajah mereka.
“oooohhh gitu ya ka.” Mereka berdua berkata kepada pemuda itu.
“Eh kalian mau cari kerja, kebetulan aku mempunyai bapak yang kerja di salah satu kantor  koran di kota ini. Apa kalian mau?” pemuda itu tersenyum.
“Betul ka, aku mau sekali ka.” Tio berkata kepada pemuda itu.
“Rian kita dapat pekerjaan.” Memegang tangan Rian.
“Asiik kita dapat pekerjaan, kapan ka?” Rian berkata kepada pemuda itu.
“ Besok aku datang lagi di sini, da da kawan-kawan.” Dengan berlari sambil melambaikan tangannya.
Akhirnya mereka mendapatkan pekerjaan. Mereka  pergi mengamen dengan rasa senang.
Ke esokan harinya pemuda itu menepati janjinya dan mereka berdua kerja sebagai penjual koran. Begitualah perjalanan saya menjadi seorang penjual koran dan saya bersyukur bisa hidup di negeri ini.
*Anggota FLP SULSEL.


MAHASISWA


CERPEN-MITOS
Oleh : * SUNARWAN. SULAIMAN
Hari selasa pagi ketika aku ada di kampus. Ini hari yang benar-benar menguras otakku. Aku punya teman yang menderita penyakit ayan namanya Rio. Tempat kejadian perkaranya di depan wc pegawai kampus. Awal ceritanya saat aku dan teman-teman menuju keruangan 306 untuk menjalani perkuliahan, tiba-tiba salah satu dari teman aku jatuh dan tergeletak tak berdaya. Saat itu aku berbaris paling belakang. Aku mendengar suara keras benda yang jatuh braaaakkkk. Aku bergegas  ke tempat kejadian perkara dan melihatnya. Ternyata yang jatuh adalah Rio, tetapi teman-teman aku mala kabur kaya melihat sesuatu yang menakutkan. Dan aku pun berkata kepada teman-teman.
“Mengapa kalian kabur ?.”
“Kalau kenako air liurnya jadi begituko tu.” Salah satu dari teman aku berkata kepadaku.
Aku pun ikut lari bersama teman-teman dan tiba-tiba aku berhenti di anak tangga yang pertama. Aku terdiam dan berpikir.
“Mengapa aku harus lari?.”
Padahal dalam hidup ini kita harus tolong menolong. Aku kembali ke tempat kejadian perkara yang dimana Rio tergeletak tak berdaya. Saat aku di sana aku melihat Rian. Dia salah satu teman aku yang berwajah dewasa diantara teman-teman  dan dia pekerja keras.
“Bantuka dulu Tio ambilkanki  labtopnya Rio.” Rian berkata kepadaku.
Aku pun mengambil labtopnya yang jatuh bersama dia. Tanpa aku sadari air liurnya ada di labtopnya dan aku menyentuhnya dengan jari tangan kananku. Saat itu aku tidak memikirkan menularnya penyakit itu. Yang ada dipikiranku hanyalah membantu teman. Ketika aku mau mengangkat kakinya, tiba-tiba Rian memukul pahanya dengan keras.
 “Kenapako pukul pahanya?” Aku berkata kepada Rian
 “Supaya sadarki.”
 Dan aku melihat Rio mulai sadar dari penyakit ayannya.
“Syukur alhamdulillah Rio sudah sadar.” Aku berkata dalam hati.
Dan setelah itu aku menuju ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kemudian kami pun melanjutkan perkuliahan.
Ketika sedang berlangsungnya perkuliahaan. Aku duduk terdiam dan memikirkan sesuatu sedangkan teman-temanku mendengarkan materi dari dosen. Kata air liur itu terus bolak balik dipikiranku. Aku pergi menhampiri Rian.
“Rian saya sentuh tadi air liurnya Rio. Nda apa-apaji itukah?.” Aku berbisik kepada Rian.
“Jangan ko ribut menjelaskan dosen di atas.” Jawab Rian dengan wajah kusut.
Karena jawabannya Rian tidak sesuai dengan pikiranku. Aku pun memaksanya dengan menarik bajunya.
“Cepatko kasih tau kah penting sekali ini.” Kata Tio
Rian pun terdiam seakan-akan tidak mendengarkan ucapanku. Aku duduk dan memikirkannya sampai waktu mata kuliah habis. Disaat mata kuliah habis aku bertanya lagi.
“Rian siniko dulu”
 “Apa...? Kamu yang kesini.” Jawab Rian. Akupun kesana.
“Kenapoko lagi Tio?.” Kata Rian kepadaku.
“Saya sentuh tadi air liurnya Rio.”
“Ai...menular itu”
“Tapi sudah ji kucuci.” Aku pun berkata dengan wajah yang takut.
“Ooo kalau sudah kau cuci nda papa ji.”
Aku puas dengan jawabannya Rian, tetapi masih ada keraguan di hati ini. Mata kuliah sudah selesai dan kami pun pulang kerumah masing-masing. Aku tinggal di perumahan dekat kampus.
Ketika aku berada di dalam rumah. Aku bergegas memasak karena lapar. Aku merebus mie dan kemudian memakannya dengan lahap. Setelah itu aku mengambil labtop dan bermain game bola. Ketika aku sedang asik bermain game sebuah kata penyakit ayan lewat di pikiranku. Aku berhenti sejenak dan berpikir.
 “Makan ka tadi.” Bicara dalam hati.
Aku merasa takut apabila terjadi apa-apa dengan tubuhku, tetapi aku menghiraukanya. Aku lanjut  bermain game. Saat merasa bosan bermain. Aku berhenti dan pergi berbaring sejenak di kasur yang keras. Ketika aku sedang berbaring kata penyakit ayan terlintas di otak ku. aku merasa takut dan gelisah. Aku menarik nafas sambil menutup mata. Tidak lama kemudian aku berpikir ada Tanteku kerja di rumah sakit dan siapa tau dia mengetahui penyakit ini. Aku pun pergi kesana.
Aku mempunyai Tante yang tinggal di jalan belimbing. Dia mempunyai anak dua dan seorang suami. Aku pergi dengan harapan bisa menemukan jawaban atas ketakutanku ini. Aku pergi dengan motor miliku. Ketika aku sampai di tempat rumahnya tante. Aku bertemu dengan anaknya tanteku dan aku bertanya kepada anak itu.
“Dimana ibumu?”
“Tidak ada ibuku, belum pulang pi dari rumah sakit.”
“Bapakmu?”
“Belum pi juga, kenapako cari?”
“Nda ji, siapa di dalam?”
“Nda ada.” Dengan mengangkat kedua tangannya.
“Mau ko kemana itu?”
“Biasa anak muda pergi rumahnya teman.”
“Dimana rumahnya temanmu?”
“Di sebelah.” Dia bicara sambil lari menuju kerumah tetangganya tanteku.
Aku pun masuk kerumah. Sambil menunggu tanteku pulang aku menonton televisi. Tidak lama kemudian tanteku datang. Dia langsung menuju ke kamarnya sambil tersenyum kepadaku. Aku ingin bertanya kepadanya, tetapi dia langsung masuk ke kamarnya. Aku pun menunggu.Akhirnya tanteku muncul di balik pintu kamarnya dan aku langsung bertanya kepadanya.
“Tante, itu penyakit ayan menularka?.”
“Iya... kalau kau sentuh air liurnya,  ada ka temanmu kena penyakit ayan?.” Jawab Tanteku.
“Ada, tapi kalau di cuci ji tidak apa-apa ji to.” Aku pun membalas seakan-akan takut.
“Nda papa ji, tapi kalau ada temanmu kena begituan jangan kasih kena air.”
“Kenapa kalau kena air?.” Aku membalas dengan wajah penasaran.
“Kalau kena air meninggal itu.” Sambil menuju ke dapur.
“Aku berpikir itu Cuma mitos. Mungkin kalau temanku ini mandi di kolam renang, tiba-tiba penyakitnya muncul. Ketika tidak ada orang yang melihatnya  manassami meninggal.” “Apakah mungkin aku terinveksi oleh penyakitnya temanku?. Seandainya aku terinveksi oleh penyakitnya temanku. Apakah sahabat aku masih mau berteman denganku?.” Dalam hati
Tanteku melihat aku sedang kebingunan tentang penyakit ayan.
“Kalau masih bingungko dengan penyakit ayan. Kamu bisa bertanya kepada Google. Semua yang kamu tanya pasti terjawab oleh Google.” Kata Tante kepadaku.
“Wah..kenapa tidak terpikirkan.” Dengan wajah senang.
Google bisa menjawab semua pertanyaanku. Kemudian aku bangun dan mencari handpone. Aku memencet-mencet dan membuka Opera Mini. Dan kemudian aku menuliskan kata Apakah menular penyakit ayan?. Aku tidak sabar menunggunya, tetapi singal lemah. Aku menungguh dan menungguh hingga akhirnya terbuka. Dan ternyata semua perkataan orang itu semuanya bohong. Itu hanya perkataan orang yang tidak mau menolong sesamanya.
Bahwa penyakit ayan itu hanya penyakit syaraf. Semua orang bisa kena apabila kecelakaan menghampirinya hingga terbentur kepalanya dan akhirnya ada salah satu syarafnya putus. Bukan hanya kecelekaan,  bisa saja terlalu banyak berpikir hingga otaknya tidak mampu dan akhirnya ada syarafnya putus. Jadi semuanya itu bohong. Akhirnya kegelisahanku bisa terjawab oleh google dan aku merasa senang.
*Anggota FLP SULSEL.